AKU PEREMPUAN
TUNGGAL
Aku hanyalah seorang perempuan biasa
yang dilahirkan sebagai anak tunggal. Terbiasa hidup sendiri, melakukan sesuatu
sendiri, dan selalu merasa memang takdirku untuk hidup sendiri. Aku hanyalah
seorang aku yang mungkin hanya seorang pemeran figuran bagi banyak orang. Tak
ada yang peduli, tak ada yang banyak menghiraukan kehadiranku di sekitar
mereka. Aku seorang yang merasa tak dianggap oleh siapapun. Dunia ini memang
adil, tapi terkadang aku tak merasa kalau dunia ini dapat berlaku adil pada
kehidupanku. Aku bukannya tak bersyukur, dan aku bukannya menyalahkan Tuhan
atas nasib aku yang begini. Sebenarnya aku tak mau banyak mengeluh, tapi
keadaan yang membuatku selalu berpikir Tuhan tidak adil dan keluhan pun selalu
datang dari benakku. Apa arti hidup ini apabila aku merasa kesepian dengan
kesendirian? Apa yang harus aku lakukan? Bahagia tak cukup dengan materi, tak
cukup dengan pujian yang hanya datang dari orang tua saja. Dan pujian itu pun
datang sesekali disisipi dengan kata sindiran yang secara tak langsung membuat
aku tak berguna sebagai anak mereka. Aku tetap aku yang selalu membawa sial
orang-orang di sekitar ataupun orang-orang yang sangat aku sayangi. Inilah aku
dari sudut pandangku sendiri.
Sebagai anak tunggal tentu saja aku
termasuk anak yang manja, apapun yang aku inginkan selalu dituruti oleh kedua
orang tuaku. Itu enaknya, namun disisi lain aku pun satu-satunya anak yang
penuh tanggung jawab sendiri untuk membahagiakan kedua orang tuaku. Berat? Ya,
aku merasa tak sanggup untuk memiliki tanggung jawab itu. Aku seorang yang
manja, mana bisa berlaku sebagai anak yang penuh pengabdian terhadap orang tua
dengan pola asuh yang kurang konsisten menurutku. Di satu sisi apa yang aku
inginkan mereka selalu memenuhinya, namun disisi lain banyak larangan ini itu
yang selalu mereka ajarkan padaku tanpa ada alasan jelas mengapa aku tak boleh
begini ataupun begitu. Pola asuh yang diajarkan menurutku sangatlah abstrak.
Terkadang dapat mengarahkanku pada pribadi yang baik, terkadang tak masuk akal
yang membuat aku menjadi sering melawan kedua orang tuaku. Aku berani membentak
maupun berbicara kasar kepada kedua orang tuaku, terutama pada ibuku sendiri.
Keluargaku termasuk ke dalam sosial
ekonomi menengah yang semua kebutuhan hidup dapat terpenuhi walaupun terkadang
seringkali pas-pasan. Apa yang aku inginkan perlu waktu banyak agar dapat
dituruti. Keluargaku sangatlah berhemat, apalagi ibuku yang selalu
mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum mengeluarkan uang. Beginilah
kehidupanku, sangat biasa dan terlalu biasa menurutku. Tak ada yang istimewa,
tak ada yang patut dibanggakan dari diri aku maupun keluargaku. Waktu kecil aku
memang pintar dalam hal akademik di sekolah. Selalu mendapatkan peringkat satu
yang selalu dibangga-banggakan oleh kedua orang tuaku kepada orang lain. Namun,
kebanggaan mereka tidak bertahan lama, karena semakin aku tumbuh besar otakku
sudah tak seencer waktu kecil. Aku tak tahu mengapa bisa semakin besar aku semakin
bisa dikatakan bodoh. Mungkin dari kecil aku dididik dengan tekanan dan ajaran
yang mengharuskan aku menjadi apa yang diinginkan orang tuaku, termasuk ibuku.
Ibuku ingin agar aku menjadi anak pintar seperti keponakan-keponakannya yang
selalu menjadi juara di sekolahnya. Aku seringkali dibanding-bandingkan, dan
aku sangat membenci hal itu. Itulah sebab mengapa aku menjadi anak pembangkang
yang selalu melawan kedua orang tuaku.
Dari kecil aku anak yang sangat
pendiam, apabila ada orang dewasa mengajakku berbicara aku sama sekali tak
menggubris dan selalu mengunci mulutku ini. Dapat dikatakan aku anak yang
sangat pemalu. Tak berani berkomentar, tak berani banyak bicara kepada orang
lain termasuk dengan saudara-saudaraku sendiri. Aku terbiasa hidup sendiri dan
terbiasa pula untuk tidak banyak bicara pada orang lain, sehingga kosakata yang
aku dapatkan terbatas dan akhirnya akupun selalu kehilangan kata-kata pada saat
berbicara pada lawan bicaraku. Untuk berbicara di depan umum, apalagi itu. Aku
sangatlah demam panggung, mungkin karena jarang berbicara di depan banyak
orang. Maka dari itu aku selalu gemetar dan berkeringat banyak apabila harus
berbicara di depan umum. Walaupun demikian aku termasuk orang yang memiliki
banyak teman, dari TK sampai SMA ataupun di perguruan tinggi aku selalu
memiliki sahabat-sahabat baik yang selalu menerima aku apa adanya. Secara fisik
aku termasuk orang yang tak enak dipandang, dengan muka bulat dan hidung pesek
serta badan yang pendek dan berisi. Sedangkan dalam pergaulan seringkali
pertemanan diukur dengan penilaian fisik. Namun, syukurlah aku mendapatkan
sahabat-sahabat yang tidak memandang hal itu.
Dibalik
kehidupan yang aku anggap tak seberuntung orang lain, aku dapat merasakan sisi
positif yang sesekali menghampiriku. Terkadang akupun dapat merasakan
keberuntungan yang mungkin orang lain tak dapat merasakan kebahagiaan yang aku
rasakan. Yah, inilah hidup! Seperti yang dikatakan banyak orang kalau hidup itu
seperti roda yang berputar, kadang kita merasa ada di atas kadang merasa
terpuruk berada di bawah. Apa yang sering aku rasakan, entahlah! Semuanya masih
terasa semu. Aku hidup entahlah untuk apa, untuk siapa dan harus dengan siapa.
Aku tak mengerti apa yang saat ini kurasakan dalam hidup. Tak punya tujuan,
mungkin saja. Namun lebih tepatnya mungkin aku belum punya arah untuk membawa
hidup ini kemana. Dan tujuan itu mungkin suatu saat nanti akan kutemukan dengan
sendirinya. Untuk sekarang jalani saja apa adanya, biarkan mengalir dan terus
mengalir seperti air dari muara ke hilir. Biarkan semuanya berjalan atas dengan
kehendak-Nya dengan batasan yang dicerna oleh otak sendiri. Aku tak tahu,
benar-benar tak tahu dengan jalan hidup yang saat ini aku jalani. Masih
sempatkah untuk diperbaiki?
Penyesalan
hanyalah tinggal penyesalan dengan berjalannya waktu yang tak dapat diulang.
Aku bodoh? Mungkin. Aku hanyalah seorang perempuan tunggal yang hanya butuh
teman. Salahkah itu?? Dengan statusku yang sekarang banyak orang yang lebih
memandang rendah diriku, terutama para kaum Adam. Janda, itulah sebutan untuk
seorang wanita yang tak terpakai lagi oleh mantan suaminya. Itulah aku, seorang
wanita yang awalnya sendiri dan kini harus kembali sendiri karena seorang pria
yang awalnya memuja dan selalu ada untukku kini membuang aku dengan semua
keterbatasan yang aku miliki sebagai seorang istri.
Tuhan,
apa ini takdirku? Tetap sendiri dan harus kesepian? Aku percaya Tuhan telah
merencanakan sesuatu yang terbaik untukku. Menunggu mungkin tak ada salahnya,
karena dengan menunggu berarti aku harus bersabar menanti teman yang terbaik
atau aku tetap sendiri dengan kebahagiaan yang tiada tara. Berharap itu pasti,
namun entah sampai kapan. Tapi aku percaya bahwa Tuhan sayang aku walaupun
terkadang aku kurang bersyukur pada-Nya. Tuhan ampuni aku yang seringkali
kurang berbuat baik sampai Engkau hukum aku seperti ini. Tuhan, izinkan aku
menemukan kembali kebahagiaanku dengan kejutan-Mu.
Satu
tahun sudah aku menyandang status yang tidak diharapkan oleh semua wanita. Dan
aku mungkin wanita yang termasuk kurang beruntung dalam hal mendapatkan jodoh.
Apakah harus aku mendapatkan kembali pria yang dapat bertanggungjawab? Ataukah
tetap bertahan seperti ini dengan kebebasan yang tanpa arah? Dulu atau sekarang
aku bahagia? Entahlah. Perasaanku sekarang semu yang terkadang terpikir olehku
untuk tak mau hidup namun matipun enggan. Tak terarah dan tak ada tujuan. Masih
butuh banyak waktu untukku untuk membiasakan diri dan menyadari bahwa aku
seorang janda. Waktu satu tahun belumlah cukup bagiku, bayangan, kenangan masih
selalu ada. Semakin ingin melupakan, semakin teringat aku adalah seorang istri
yang tak terpakai oleh suaminya hingga dibuang seperti sampah. Aku rendah dan
aku sudah seperti barang yang rusak dan usang sehingga pantas untuk dibuang dan
tak layak untuk di daur ulang. Tuhan, hinakah aku sekarang dengan status ini?
Mayoritas
orang memandang sebelah mata status janda, dan menganggap kalau janda
gampangan, penggoda suami orang dan sama sekali tak berharga, penuh akan hinaan
dan caci maki. Siapa yang mau menyandang status ini? Terpikir olehku pun tidak
sama sekali. Tapi inilah aku kini seorang janda, tetap sendiri dan menjadi
perempuan tunggal dengan satu orang anak gadis yang harus aku besarkan dengan
tanganku sendiri. Inilah aku yang harus kuat untuk hidup demi anakku.
Aku
menyadari akan kuasa Tuhan yang memberi cobaan padaku. Sekarang perlahan demi
perlahan aku mulai bangkit dan meyakini kalau aku bisa hidup dan maju tanpa
seorang pendamping atau pasangan. Aku selalu berusaha untuk dapat mencari
penghasilan untuk anakku dengan tangan pendekku ini. Aku tak mau lagi
mengharapkan nafkah dari laki-laki yang sudah membuangku karena aku bukan
pengemis. Kini aku sendiri merantau ke ibukota yang jaraknya kurang lebih
sekitar 8 jam perjalanan dari kampung halamanku. Walaupun awalnya aku merasa
tak sanggup, takut akan kehidupan kota yang kata orang keras, tapi aku
memberanikan diri demi anakku demi mencari recehan uang untuk makan aku dan
anakku. Inilah aku seorang ibu yang entahlah baik atau tidak meninggalkan anaknya
demi mencari uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar