15 September 2020,
Nasib terburuk menimpaku kembali, kali ini aku kehilangan figur pelindung yaitu cinta pertamaku, Ayah. Sosok dimana aku tak bisa lagi bermanja-manja, minta perlindungan dan yang selalu menasihatiku dengan bijak. Sosok yang tak tergantikan oleh pria manapun.
Ayah, aku rindu!
Tujuh tahun aku tak seatap dengannya, aku merantau bukan niatku hanya untuk mencari nafkah semata. Aku lari dari penatnya rumah, aku tak betah untuk berlama-lama di rumah. Ya, aku melarikan diri dan lebih menikmati hidup sendiri meninggalkan semua tanggung jawab yang seharusnya aku emban yaitu ayah, ibu dan anak.
Tak ada lagi pegangan dalam hidup, aku goyah tak tahu arah. Aku bimbang tak tahu tujuan harus bagaimana. Pekerjaan dan kebebasanku sudah kulepas demi Ayah, tapi dia meninggalkanku, jauh meninggalkanku dengan kebingungan. Tiba-tiba pergi tanpa pamit, tanpa pesan dan dia pergi begitu saja tanpa aku ada disampingnya.
Satu setengah bulan aku merawatnya dengan yakin kalau dia akan sembuh, tak sedikitpun terpikir olehku dia akan pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Ada marah dan benci saat terima kenyataan ayahku memiliki istri lain. Tiga hari sebelum kepergiannya dia jujur dan terus terang kalau ada wanita lain dalam hidupnya. Aku marah, aku lari dan benci terhadap ayahku sendiri. Aku pergi meninggalkan rumah beberapa jam, lari dan lari entah kemana saat itu dalam kesakitan tangan terkilir akibat emosi. Aku tak mau bertemu perempuan itu, kebencian dan hanya kebencian yang aku rasakan terhadap ayahku yang sedang sakit parah. Namun keadaan memaksaku untuk menerima kenyataan itu dan akhirnya perempuan itu pun datang kerumah. Aku tak kuasa menahan emosi, namun aku harus kuat dengan hanya diam dan mematung menyaksikan semuanya demi kesembuhan ayahku.
14 September 2020, tiba saatnya ayahku kontrol ke rumah sakit dan hanya denganku. Hanya aku yang mengantar dan konsultasi langsung dengan dokter yang menangani. Kaget, saat itu juga ayahku harus rawat inap untuk menjalani operasi besoknya. Mendadak aku kasih kabar orang rumah untuk menyiapkan segala sesuatu keperluan untuk di rumah sakit. Terngiang sampai saat ini, sepanjang malam ayahku tak bisa tidur, semakin gusar dan setiap jam menanyakan jam berapa padaku. Ya Tuhan, aku selalu ingat kata-katanya yang dia meminta maaf padaku karena sudah membuatku repot selama satu setengah bulan terakhir ini, dan dia memintaku untuk mengusap punggungnya sepanjang malam. Tak seharusnya ayahku berkata demikian terhadapku, aku yang harus meminta maaf karena lama mengabaikannya. Aku mengabaikan ajakan ayahku untuk pulang, aku terlalu terlena dengan kehidupanku sendiri sampai mengabaikan permintaan ayahku setahun terakhir.
Penyesalan hanyalah tinggal penyesalan, aku tak bisa memutar waktu kembali. Paling aku sesalkan membiarkan ayahku kelaparan sebelum menjalani operasi karena diharuskan untuk puasa. Dia minta minum dan makan tak ku beri, yang pada akhirnya saat waktu operasi tiba ayahku mendadak kritis. Aku terus disampingnya, tapi aku yakin dia akan selamat dan tak terjadi apa-apa. Tuhan, operasi tak jadi dilakukan karena kondisi ayahku melemah dan dia dalam keadaan kelaparan. Aku berdosa Tuhan, maafkan aku ayah. Aku berkali-kali membuatmu sakit dan mungkin bahkan membuatmu kecewa. Aku tak bisa jadi anak baik sesuai harapanmu. Aku pembangkang.
Sore itu aku lelah di rumah sakit terus menerus yang akhirnya memaksakan untuk pulang kerumah hanya sekedar mandi dan mengambil baju ganti ayah. Entah pikiranku kosong pada saat itu, melamun disaat mengendarai motor, dan akhirnya..Brakk! Aku terjatuh menabrak motor lainnya. Aku tiba-tiba teringat ayah yang sedang kritis. Saat itu aku menangis sejadi-jadinya bukan karena sakit akibat kecelakaan yang aku alami, namun aku teringat ayah yang sedang berjuang dengan nyawanya. Aku pun sampai rumah dengan diantar oleh orang tak dikenal yang kasihan padaku. Kalang kabut, badan sakit dan aku lemah namun harus dipaksakan untuk kembali ke rumah sakit. Aku rindu ayah.
17.30 Ibuku telepon untuk aku tak perlu pergi lagi ke rumah sakit karena ayah tiada. Lemas, menjerit..hanya itu yang bisa aku lakukan. Menyesal tak ada disampingnya disaat detik-detik terakhir dia meregang nyawa. Tuhan, aku belum sempat meminta maaf atas semua khilaf dan kebencianku padanya. Hanya tinggal sesal dan sesak yang kurasa. Ayah, maafkan aku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar