Senin, 03 September 2018

Ikhlas Lagi

2 September 2018, dengan berani namun ragu dan tersedu akhirnya aku pun memutuskan untuk berakhir. Lepas sudah dia tak ada lagi untukku, tak ada lagi kawan bertukar pikiran, kawan makan dan kawan yang bisa membangkitkan kembali mood ku dikala lelah. Aku kembali sendiri mengisi waktu dan keseharianku. 10 bulan sudah bersamanya, pemuda tinggi besar yang siap melindungiku, pemuda 3 tahun dibawahku namun tampak lebih diatasku baik dari fisik maupun pola pikirnya. Apa yang aku pikirkan saat ini mungkin bisa dikatakan egois, aku akui aku salah seolah tak menganggapnya. Tapi bukan itu, aku menyayanginya dan aku selalu merindukannya. Namun aku tak mau menyiksa diri sendiri dengan perasaan tak berbalas. Mungkin dia menyayangiku, mungkin dia merindukanku juga. Tapi perlakuannya tak menunjukkan hal itu. Walaupun sudah banyak hal yang dia lakukan untukku, mengorbankan waktu untuk menemaniku dan mengorbankan materi demi bisa menghiburku sampai mungkin dia mengalami kesulitan dalam hal keuangannya. Tapi entahlah aku masih merasa bertepuk sebelah tangan. Dari awal awal masa pendekatan sampai sekarang, dia berubah. Aku bukan lagi prioritasnya, aku bukan lagi menjadi seseorang yang bisa membuatnya bahagia. Bukan perkara mudah aku harus membiasakan diri untuk sendiri lagi karena sebagian besar waktu senggang selalu aku habiskan dengannya. Kini ataupun nanti kalau memang ini jalan terbaik untuk tidak bersamanya memang harus segera diputuskan walaupun sakit. Lebih baik sakit sekarang daripada nanti akan lebih berasa seperti luka yang harus segera diobati. Apabila dinanti nanti akan lebih parah dan lebih sakit lagi sehingga susah untuk disembuhkan. Begitupun dengan hati, walaupun saat ini terasa sesak namun harus dijalani karena dengan berjalannya waktu semua sesak itupun berangsur angsur akan hilang dimakan waktu. Adakah alasan untuk aku memutuskannya? Tentu saja. Aku harus tegas memilih untuk sendiri karena demi kebaikannya juga yang tak semestinya berharap banyak kepadaku. Aku tak memberinya kejelasan karena akupun masih takut akan adanya komitmen yang pada akhirnya ada pengkhianatan. Aku takut harus kembali menjadi budak nafsu, pembantu sekaligus orang yang selalu dipersalahkan apabila tak bisa melakukan apapun. Tak ada kesiapan untuk aku mengalami semua hal itu kembali. Aku menyayanginya tapi aku tak bisa egois memilikinya utuh. Dia laki-laki yang masih punya ruang untuk sendiri, laki-laki yang berusaha menyembunyikan masalah dan kekurangannya. Aku sudah tak sanggup menghadapi sikap acuh tak acuhnya. Tak ada perjuangan darinya untuk meyakinkan aku yang masih ragu menjalani hubungan dengan komitmen. Tak ada usahanya meyakinkan aku untuk bahagia bersamanya. Bukankah lebih baik seperti ini daripada dipaksakan? Mungkin sulit sekali untukku membiasakan diri untuk tidak bersamanya lagi. Dia laki-laki baik yang tak seharusnya aku rusak, dia lebih pantas dengan perempuan yang lebih baik dariku dan bisa memberinya kepastian. Walaupun sedih, namun aku akan berusaha fokus dengan kesibukanku, fokus akan kehidupan menuju masa depan. Jodoh mungkin sudah ada diluar sana menantiku, namun aku tak pantas berharap banyak agar dipertemukan jodoh kembali karena pada dasarnya semua laki-laki sama dan pernikahan bagiku hanyalah sebuah mimpi buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar